178 - Aku tinggalkan Tuhanku untuk mencintaimu, memilikimu dan berada selalu disampingmu. Tak peduli, ibu yang melahirkanku, ayah yang membesarkanku, mengutukku karenamu. Bertahun - tahun aku mendampingimu, terjalnya naik, curamnya turun kehidupan kulalui tanpa keluh dan kalimat aduh. Tiada sesal walaupun sejengkal, tiada kekecewaan walaupun cuma seujung jari tangan. Bertahan di gubug kecil di sebuah desa di Sulawesi Selatan.
Lalu kamupun berubah. Setan mana yang mempengaruhimu aku tak tahu, aku entah. Kamu mulai berpolah, menjadi pemabuk, penjudi dan laki - laki pemarah. Setiap pagiku menjadi lautan gundah, setiap siangku dibalut kesah gelisah, setiap malamku ku menangis darah. Tapi kudiam dan tetap bertahan. Demi bayiku, makhluk lemah titipan Tuhan yang tergolek di pangkuan.
Lalu tanganmu mulai melayang, saat ku hanya lembut mengingatkan bahwa kami kehilangan arahmu menuju tujuan. Yang kau persaksikan dalam janji di depan kitab suci saat kita dipersatukan. Pedih pipiku tak sepedih hatiku menerima kenyataan, bahwa kamu semakin tersesat dalam kedzoliman, bahwa kamu semakin jauh dari gapaian tangan. Remuk tubuhku tak sehancur jiwaku yang berserak di setiap detik kemurkaanmu oleh frustasi karena kegagalan demi kegagalan. Dan buah hati kitapun semakin kau abaikan, tak pernah lagi kau perhatikan.
Keluargamupun tak membantu, justru menuding ini semua salahku. Sebagai istrimu aku dianggap bertanggungjawab atas perubahan sikap dan wujudmu. Sebagai pendampingmu aku dituduh lalai menjagamu. Cibiran sinis, makian sadis kuterima sebagai bagian dari takdirku telah memilihmu. Untuk kujadikan bekal bersujud memohon petunjuk dalam sujud - sujudku. Apa dayaku? Hanya padaNyalah aku bisa mengadu, saat jalan kembali ke ayah ibukupun sudah tertutup sejak mereka mengusirku karena lebih memilihmu.
Berbulan - bulan neraka telah kamu ciptakan. Aku, isterimu dan anakmu tak pernah lagi merasakan aman dan nyaman berada di dekatmu yang penuh kemurkaan. Murka atas segala hal yang kamu sendiripun tak bisa menjelaskan. Dan justru kepada kami, semua murkamu kau lampiaskan. 'Aku harus pergi darimu' bisik hatiku suatu pagi, setelah semalam kamu tambahkan bilur - bilur baru di sekujur badan dan hatiku, setelah semalam aku bersujud mengadukan nyeri kepada Tuhanku yang dulu kauperkenalkan padaku. Kubawa sisa - sisa semangatku, kugendong bayi mungilku, meninggalkan kamu yang belum tersadarkan dalam mimpi - mimpi absurbmu.
Aku bernyanyi, hanya itu yang bisa kulakukan. Dari panggung ke panggung hiburan di pelosok - pelosok desa hingga cafe - cafe sederhana di kota kecil di Sulawesi Selatan. Sekeping demi sekeping upah menyanyi kujadikan susu anakku, bubur sarapan paginya dan ongkos kontrakan sederhana. Aku bernyanyi, menghibur penonton sembari berusaha sekuat tenaga untuk selalu tersenyum menyembunyikan luka yang tertoreh di hati. Luka yang kausebabkan karena telah memilih jalanmu yang semakin menjauhkanmu dari jalan Tuhan. Tuhanmu yang dulu kau perkenalkan padaku hingga aku menyerah dan menanggalkan keyakinan.
Aku takkan berhenti bernyanyi, hingga luka ini hilang, hingga kudapatkan kedamaian. Dan Tuhan memberikan jawaban. Dari menyanyi aku bisa membeli sebuah rumah papan, sederhana namun bisa memberiku kedamaian dan naungan dari panas dan hujan. Kumasuki rumah papan ini sambil berurai air mata syukur saat memasuki pintunya. Kulakukan hal pertama yang ingin kulakukan di rumah yang kubeli dengan keringat dan darahku. Aku bersujud dan tenggelam dalam rasa syukur yang tak terperikan. Demi cintaku padamu, aku rela meninggalkan Tuhanku."
15 Februari 2016, Bone - bone, Sulawesi Selatan
(Terinspirasi dari penuturan si penyanyi dan dituliskan kembali oleh Yasin bin Malenggang untuk Vemale.com)
Lalu kamupun berubah. Setan mana yang mempengaruhimu aku tak tahu, aku entah. Kamu mulai berpolah, menjadi pemabuk, penjudi dan laki - laki pemarah. Setiap pagiku menjadi lautan gundah, setiap siangku dibalut kesah gelisah, setiap malamku ku menangis darah. Tapi kudiam dan tetap bertahan. Demi bayiku, makhluk lemah titipan Tuhan yang tergolek di pangkuan.
Lalu tanganmu mulai melayang, saat ku hanya lembut mengingatkan bahwa kami kehilangan arahmu menuju tujuan. Yang kau persaksikan dalam janji di depan kitab suci saat kita dipersatukan. Pedih pipiku tak sepedih hatiku menerima kenyataan, bahwa kamu semakin tersesat dalam kedzoliman, bahwa kamu semakin jauh dari gapaian tangan. Remuk tubuhku tak sehancur jiwaku yang berserak di setiap detik kemurkaanmu oleh frustasi karena kegagalan demi kegagalan. Dan buah hati kitapun semakin kau abaikan, tak pernah lagi kau perhatikan.
Keluargamupun tak membantu, justru menuding ini semua salahku. Sebagai istrimu aku dianggap bertanggungjawab atas perubahan sikap dan wujudmu. Sebagai pendampingmu aku dituduh lalai menjagamu. Cibiran sinis, makian sadis kuterima sebagai bagian dari takdirku telah memilihmu. Untuk kujadikan bekal bersujud memohon petunjuk dalam sujud - sujudku. Apa dayaku? Hanya padaNyalah aku bisa mengadu, saat jalan kembali ke ayah ibukupun sudah tertutup sejak mereka mengusirku karena lebih memilihmu.
Berbulan - bulan neraka telah kamu ciptakan. Aku, isterimu dan anakmu tak pernah lagi merasakan aman dan nyaman berada di dekatmu yang penuh kemurkaan. Murka atas segala hal yang kamu sendiripun tak bisa menjelaskan. Dan justru kepada kami, semua murkamu kau lampiaskan. 'Aku harus pergi darimu' bisik hatiku suatu pagi, setelah semalam kamu tambahkan bilur - bilur baru di sekujur badan dan hatiku, setelah semalam aku bersujud mengadukan nyeri kepada Tuhanku yang dulu kauperkenalkan padaku. Kubawa sisa - sisa semangatku, kugendong bayi mungilku, meninggalkan kamu yang belum tersadarkan dalam mimpi - mimpi absurbmu.
Aku bernyanyi, hanya itu yang bisa kulakukan. Dari panggung ke panggung hiburan di pelosok - pelosok desa hingga cafe - cafe sederhana di kota kecil di Sulawesi Selatan. Sekeping demi sekeping upah menyanyi kujadikan susu anakku, bubur sarapan paginya dan ongkos kontrakan sederhana. Aku bernyanyi, menghibur penonton sembari berusaha sekuat tenaga untuk selalu tersenyum menyembunyikan luka yang tertoreh di hati. Luka yang kausebabkan karena telah memilih jalanmu yang semakin menjauhkanmu dari jalan Tuhan. Tuhanmu yang dulu kau perkenalkan padaku hingga aku menyerah dan menanggalkan keyakinan.
Aku takkan berhenti bernyanyi, hingga luka ini hilang, hingga kudapatkan kedamaian. Dan Tuhan memberikan jawaban. Dari menyanyi aku bisa membeli sebuah rumah papan, sederhana namun bisa memberiku kedamaian dan naungan dari panas dan hujan. Kumasuki rumah papan ini sambil berurai air mata syukur saat memasuki pintunya. Kulakukan hal pertama yang ingin kulakukan di rumah yang kubeli dengan keringat dan darahku. Aku bersujud dan tenggelam dalam rasa syukur yang tak terperikan. Demi cintaku padamu, aku rela meninggalkan Tuhanku."
15 Februari 2016, Bone - bone, Sulawesi Selatan
(Terinspirasi dari penuturan si penyanyi dan dituliskan kembali oleh Yasin bin Malenggang untuk Vemale.com)