178 - Seorang Pendeta Kristen sangat bersemangat dalam mengajak orang-orang untuk masuk ke dalam agamanya. Selain menargetkan manusia-manusia awam, Pendeta ini juga menargetkan seorang Syeikh dalalam daftar sasaran dakwahnya. Dengan gigih tanpa henti, si Pendeta Kristen ini senantiasa mendatangi kediaman Syeikh. Tanpa absen barang sehari pun.
Dalam setiap kunjungannya, si Pendeta senantiasa menyampaikan bahwa Syeikh dan kaum Muslimin lainnya telah berlelah-lelah lantaran beribadah sepanjang hari seumur hidupnya dalam rukuk, sujud, dan banyak ibadah lainnya. Katanya, “Untuk apa berlelah-lelah sedemikian rupa? Kalian juga mengharamkan kenikmatan-kenikmatan seperti daging babi, dan lain sebagainya.”
Selanjutnya, ia pun menyampaikan ajaran-ajaran Kristen yang dipahami. “Jika mau bebas dari semua kelelahan dan peraturan-peraturan tersebut, berimanlah sebagaimana imanku. Percayalah kepada satu-satunya Anak Tuhan yang Dia turunkan ke muka bumi ini.”
Setiap menerima kunjungan Pendeta ini, sang Syeikh hanya menyambutnya tanpa memberikan perlawanan atau balik mendakwahi. Namun, ia berpikir bagaimana caranya menjawab ajakan-ajakan si Pendeta.
Hingga suatu hari, ia mendapatkan petunjuk dari Allah Ta’ala. Segera saja, Syeikh memanggil pembantu di rumahnya. Kata beliau, “Esok kalau Pendeta bertamu, setelah ia kelar menyampaikan ajakannya, datanglah kepadaku seraya membisikkan sesuatu.”
Keesokan harinya, si Pendeta datang tepat waktu. Setelah berbasa-basi santai, dia pun mulai menyampaikan ajaran-ajaran yang sebenarnya dimodifikasi oleh para petingginya yang sesat. Tak lama kemudian, datanglah si pembantu seraya membisikkan sesuatu ke telinga sang Syeikh.
Seketika itu juga, sang Syeikh menangis. Keras. Kencang. Sedih. Memilukan hingga membuat si Pendeta khawatir sekaligus ketakutan mendengar tangisan Syeikh.
“Apa yang terjadi?” tanyanya. “Apa yang membuatmu menangis sekencang ini?” serunya dipenuhi kekhawatiran mendalam.
“Diam!” gertak sang Syeikh seraya terus menangis.
“Wahai Syeikh,” pinta Pendeta agak lembut, “kisahkan kepadaku. Apa yang terjadi? Mengapa tangismu semencekam ini?”
Seraya mengatur nafas dalam sandiwara yang telah direncanakan atas petunjuk dari Allah Ta’ala, sang Syeikh pun bersiap menyampaikan jawaban.
“Baru saja,” katanya terbata, “pembantuku memberi kabar bahwa Malaikat Jibril mati!”
Tanpa sadar, Pendeta pun langsung menyambut jawaban sang Syeikh dengan tawa terbahak yang meledak. Lepas nafasnya teratur, sang Pendeta pun menukasi, “Bodoh! Jangan mengada-ada. Bagaimana mungkin seorang malaikat mati?”
“Jika aku bodoh karena mengatakan ‘Malaikat Jibril mati’, bagaimana dengan orang-orang yang mengatakan bahwa Tuhan yang menciptakan malaikat telah mati?!” tanya Syeikh yang mmebuat si Pendeta salah tingkah tanpa jawaban.
Rupanya, pendeta Kristen ini terjebak dalam skenario yang dijalankan oleh sang Syeikh.
Dalam setiap kunjungannya, si Pendeta senantiasa menyampaikan bahwa Syeikh dan kaum Muslimin lainnya telah berlelah-lelah lantaran beribadah sepanjang hari seumur hidupnya dalam rukuk, sujud, dan banyak ibadah lainnya. Katanya, “Untuk apa berlelah-lelah sedemikian rupa? Kalian juga mengharamkan kenikmatan-kenikmatan seperti daging babi, dan lain sebagainya.”
Selanjutnya, ia pun menyampaikan ajaran-ajaran Kristen yang dipahami. “Jika mau bebas dari semua kelelahan dan peraturan-peraturan tersebut, berimanlah sebagaimana imanku. Percayalah kepada satu-satunya Anak Tuhan yang Dia turunkan ke muka bumi ini.”
Setiap menerima kunjungan Pendeta ini, sang Syeikh hanya menyambutnya tanpa memberikan perlawanan atau balik mendakwahi. Namun, ia berpikir bagaimana caranya menjawab ajakan-ajakan si Pendeta.
Hingga suatu hari, ia mendapatkan petunjuk dari Allah Ta’ala. Segera saja, Syeikh memanggil pembantu di rumahnya. Kata beliau, “Esok kalau Pendeta bertamu, setelah ia kelar menyampaikan ajakannya, datanglah kepadaku seraya membisikkan sesuatu.”
Keesokan harinya, si Pendeta datang tepat waktu. Setelah berbasa-basi santai, dia pun mulai menyampaikan ajaran-ajaran yang sebenarnya dimodifikasi oleh para petingginya yang sesat. Tak lama kemudian, datanglah si pembantu seraya membisikkan sesuatu ke telinga sang Syeikh.
Seketika itu juga, sang Syeikh menangis. Keras. Kencang. Sedih. Memilukan hingga membuat si Pendeta khawatir sekaligus ketakutan mendengar tangisan Syeikh.
“Apa yang terjadi?” tanyanya. “Apa yang membuatmu menangis sekencang ini?” serunya dipenuhi kekhawatiran mendalam.
“Diam!” gertak sang Syeikh seraya terus menangis.
“Wahai Syeikh,” pinta Pendeta agak lembut, “kisahkan kepadaku. Apa yang terjadi? Mengapa tangismu semencekam ini?”
Seraya mengatur nafas dalam sandiwara yang telah direncanakan atas petunjuk dari Allah Ta’ala, sang Syeikh pun bersiap menyampaikan jawaban.
“Baru saja,” katanya terbata, “pembantuku memberi kabar bahwa Malaikat Jibril mati!”
Tanpa sadar, Pendeta pun langsung menyambut jawaban sang Syeikh dengan tawa terbahak yang meledak. Lepas nafasnya teratur, sang Pendeta pun menukasi, “Bodoh! Jangan mengada-ada. Bagaimana mungkin seorang malaikat mati?”
“Jika aku bodoh karena mengatakan ‘Malaikat Jibril mati’, bagaimana dengan orang-orang yang mengatakan bahwa Tuhan yang menciptakan malaikat telah mati?!” tanya Syeikh yang mmebuat si Pendeta salah tingkah tanpa jawaban.
Rupanya, pendeta Kristen ini terjebak dalam skenario yang dijalankan oleh sang Syeikh.
Ketika Kisah Menuturkan Hikmahnya, Zulfi Akmal.
Sumber : kisahikmah.com