178 - Sebagai masyarakat “kampung”, saya tidak banyak tahu tentang dunia keartisan (dunia hiburan), karena saya paling malas nonton acara-acara berbau artis di TV, apalagi yang namanya SE-NE-TRON, kecuali film-film layar lebar yang diangkat dari novel-novel ternama, semisal El-Syirazi itu. Dari kecil, saya tidak pernah hafal nama-nama artis, karena tidak pernah ditanyakan di sekolah. Hanya beberapa artis yang saya ingat namanya, seperti Rhoma Irama, Rano Karno, Titik Puspa dan artis-artis “lawas” lainnya.
Saya juga paling “murka” melihat tayangan-tayangan infotainment yang umumnya tidak bermutu dan “kampungan”. Coba bayangkan, kita capek-capek ngumpulin uang untuk beli TV, tapi justru dapat tayangan artis lagi “menyusui”, artis brantem, artis pakai “jilbabeb”, artis selingkuh, artis hamil dan bahkan artis “melahirkan”. Kalau tayangannya model-model itu, di kampung saya juga banyak Bro...!
Dalam dua hari terakhir, beranda facebook dan juga twitter di Indonesia penuh dengan berbagai komentar tentang sosok Teuku Wisnu, seorang pria berdarah Aceh yang telah sukses menjadi artis di Ibu Kota. Seperti telah saya jelaskan, bahwa pengetahuan saya tentang artis sangat minim. Dengan demikian, adalah wajar jika saya juga tidak banyak tahu tentang sosok artis bernama Teuku Wisnu.
Cuma saja, dalam beberapa waktu terakhir, secara tidak sengaja, saya pernah beberapa kali membaca berita di media online bahwa artis bernama Teuku Wisnu sudah “berjenggot” dan memakai celana “cingkrang”. Bahkan ada kabar yang menyebut bahwa Teuku Wisnu sudah mulai menjaga jarak dengan dunia hiburan. Benar tidaknya kabar tersebut wallahu a’lam. Namun sebagai masyarakat Aceh, tentu ada kebanggan tersendiri melihat Wisnu yang nampak telah “berubah” itu.
Baru-baru ini, kononnya, Teuku Wisnu dan Sazkia Mecca telah membuat kehebohan di TV, melalui program “Berita Islam Masa Kini”. Diriwayatkan bahwa dalam acara tersebut, Sazkia menyebut bahwa membacakan surat Al-Fatihah untuk orang-orang yang sudah meninggal adalah perbuatan bid’ah, kerena tidak dicontohkan oleh Rasul. Pada saat itu, Teuku Wisnu turut menguatkan apa yang disampaikan Sazkia dan mengatakan bahwa mengirim Al-Fatihah untuk orang yang sudah meninggal tidak ada dalilnya dan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah, demikian dilaporkan oleh Tribunnews.
Tanpa diduga, komentar Teuku Wisnu dalam acara tersebut mendapat respon publik, khususnya nitizen, di antaranya dari akun Imron Rosyadi yang menyatakan bahwa komentar tersebut adalah khilafiyah yang dapat mengundang perdebatan. Setelah membaca berita tersebut, saya mencoba googling untuk mencari vidio dimaksud. Setelah menonton vidio tersebut berulang kali, saya melihat tidak ada yang aneh, biasa-biasa saja. Adapun statemen tentang kiriman Fatihah itu juga tidak “seradikal” informasi yang berkembang di media sosial.
Saya melihat, bahwa respon yang ditujukan kepada Wisnu terlalu berlebihan. Bahkan ada beberapa akun yang menuding Teuku Wisnu sebagai “ustaz Wahabi”. Dalam pandangan awam saya, apa yang disampaikan oleh Teuku Wisnu masih lebih baik jika dibandingkan dengan bahasa “olok-olok” seorang ustaz di TV dengan ucapan khasnya “Alhamdoo-lillaaaaah”.
“Serbuan” terhadap Teuku Wisnu di media sosial semakin lebay dan liar. Wisnu disebut-sebut telah menyebarkan doktrin Wahabi. Akibat reaksi yang berlebihan, kabar terakhir menyebutkan bahwa Teuku Wisnu sudah meminta maaf atas komentarnya yang “heboh” itu. Di satu sisi, permintaan maaf yang dilakukan Wisnu memang patut diapresiasi, artinya Wisnu telah berjiwa besar dan menghargai perbedaan. Namun pada hakikatnya, permintaan maaf itu tidak perlu dilakukan, karena apa yang disampaikan Wisnu masih dalam katagori wajar dan bukanlah hal baru.
Jika hanya karena statemen Fatihah itu Wisnu dituduh Wahabi dan harus minta maaf, maka Said Agil Siradj juga harus minta maaf kepada publik atas statemennya bahwa orang yang menolak tahlilan sebagai tidak Pancasilais. Si Armando yang banyak nyeleneh itu pun harus minta maaf kepada umat Islam. Nusron Wahid yang kononnya menyebut bahwa ayat konstitusi lebih tinggi dari Alquran juga harus minta maaf.
Adalah tidak adil jika cuma Wisnu yang dijadikan “bulan-bulanan”, sedangkan yang lain terlihat enjoy saja. Bagi saya, fokusnya bukan masalah benar tidaknya apa yang disampaikan Wisnu, tapi objektivitasnya itu yang harus dikedepankan.
Jika memang kita meyakini bahwa persoalan kirim Fatihah itu khilafiyah, maka konsekwensinya kita juga harus sepakat bahwa ada dua golongan yang punya pendapat berbeda terhadap amalan tersebut. Jelasnya, ada yang menyatakan kiriman Fatihah itu sampai, dan ada pula yang berkeyakinan tidak sampai. Seharusnya, jika ada seseorang yang mengatakan Fatihah itu tidak sampai dianggap sebagai “mengundang perdebatan” karena membincangkan khilafiyah, maka orang yang mengatakan kiriman Fatihah itu sampai juga harus dilarang, karena statemen itu pun khilafiyah dan juga mengundang perdebatan. Ini baru adil.
Adalah aneh, jika Teuku Wisnu dan juga siapa pun yang mengatakan kiriman Fatihah tidak sampai langsung diberi stempel Wahabi, sesat dan menyesatkan, tapi ketika ada pihak lain yang juga di depan publik menyatakan kiriman Fatihah sampai justru disambut dengan “tepuk tangan” dan bebas dari tuduhan khilafiyah. Yang mengatakan kiriman Fatihah tidak sampai disebut sebagai tidak toleran, sebaliknya yang mengatakan kiriman Fatihah sampai disebut TOLLERANS. Di mana logikanya, Bro!
Ini namanya “khilafiyah karet”, jika merugikan kita, maka dengan penuh semangat kita menyebutnya sebagai khilafiyah, tapi jika menguntungkan kita, itu bukan khilafiyah. Tak naik ketawa saya. Wallahul Musta’an.
Dalam dua hari terakhir, beranda facebook dan juga twitter di Indonesia penuh dengan berbagai komentar tentang sosok Teuku Wisnu, seorang pria berdarah Aceh yang telah sukses menjadi artis di Ibu Kota. Seperti telah saya jelaskan, bahwa pengetahuan saya tentang artis sangat minim. Dengan demikian, adalah wajar jika saya juga tidak banyak tahu tentang sosok artis bernama Teuku Wisnu.
Cuma saja, dalam beberapa waktu terakhir, secara tidak sengaja, saya pernah beberapa kali membaca berita di media online bahwa artis bernama Teuku Wisnu sudah “berjenggot” dan memakai celana “cingkrang”. Bahkan ada kabar yang menyebut bahwa Teuku Wisnu sudah mulai menjaga jarak dengan dunia hiburan. Benar tidaknya kabar tersebut wallahu a’lam. Namun sebagai masyarakat Aceh, tentu ada kebanggan tersendiri melihat Wisnu yang nampak telah “berubah” itu.
Baru-baru ini, kononnya, Teuku Wisnu dan Sazkia Mecca telah membuat kehebohan di TV, melalui program “Berita Islam Masa Kini”. Diriwayatkan bahwa dalam acara tersebut, Sazkia menyebut bahwa membacakan surat Al-Fatihah untuk orang-orang yang sudah meninggal adalah perbuatan bid’ah, kerena tidak dicontohkan oleh Rasul. Pada saat itu, Teuku Wisnu turut menguatkan apa yang disampaikan Sazkia dan mengatakan bahwa mengirim Al-Fatihah untuk orang yang sudah meninggal tidak ada dalilnya dan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah, demikian dilaporkan oleh Tribunnews.
Tanpa diduga, komentar Teuku Wisnu dalam acara tersebut mendapat respon publik, khususnya nitizen, di antaranya dari akun Imron Rosyadi yang menyatakan bahwa komentar tersebut adalah khilafiyah yang dapat mengundang perdebatan. Setelah membaca berita tersebut, saya mencoba googling untuk mencari vidio dimaksud. Setelah menonton vidio tersebut berulang kali, saya melihat tidak ada yang aneh, biasa-biasa saja. Adapun statemen tentang kiriman Fatihah itu juga tidak “seradikal” informasi yang berkembang di media sosial.
Saya melihat, bahwa respon yang ditujukan kepada Wisnu terlalu berlebihan. Bahkan ada beberapa akun yang menuding Teuku Wisnu sebagai “ustaz Wahabi”. Dalam pandangan awam saya, apa yang disampaikan oleh Teuku Wisnu masih lebih baik jika dibandingkan dengan bahasa “olok-olok” seorang ustaz di TV dengan ucapan khasnya “Alhamdoo-lillaaaaah”.
“Serbuan” terhadap Teuku Wisnu di media sosial semakin lebay dan liar. Wisnu disebut-sebut telah menyebarkan doktrin Wahabi. Akibat reaksi yang berlebihan, kabar terakhir menyebutkan bahwa Teuku Wisnu sudah meminta maaf atas komentarnya yang “heboh” itu. Di satu sisi, permintaan maaf yang dilakukan Wisnu memang patut diapresiasi, artinya Wisnu telah berjiwa besar dan menghargai perbedaan. Namun pada hakikatnya, permintaan maaf itu tidak perlu dilakukan, karena apa yang disampaikan Wisnu masih dalam katagori wajar dan bukanlah hal baru.
Jika hanya karena statemen Fatihah itu Wisnu dituduh Wahabi dan harus minta maaf, maka Said Agil Siradj juga harus minta maaf kepada publik atas statemennya bahwa orang yang menolak tahlilan sebagai tidak Pancasilais. Si Armando yang banyak nyeleneh itu pun harus minta maaf kepada umat Islam. Nusron Wahid yang kononnya menyebut bahwa ayat konstitusi lebih tinggi dari Alquran juga harus minta maaf.
Adalah tidak adil jika cuma Wisnu yang dijadikan “bulan-bulanan”, sedangkan yang lain terlihat enjoy saja. Bagi saya, fokusnya bukan masalah benar tidaknya apa yang disampaikan Wisnu, tapi objektivitasnya itu yang harus dikedepankan.
Jika memang kita meyakini bahwa persoalan kirim Fatihah itu khilafiyah, maka konsekwensinya kita juga harus sepakat bahwa ada dua golongan yang punya pendapat berbeda terhadap amalan tersebut. Jelasnya, ada yang menyatakan kiriman Fatihah itu sampai, dan ada pula yang berkeyakinan tidak sampai. Seharusnya, jika ada seseorang yang mengatakan Fatihah itu tidak sampai dianggap sebagai “mengundang perdebatan” karena membincangkan khilafiyah, maka orang yang mengatakan kiriman Fatihah itu sampai juga harus dilarang, karena statemen itu pun khilafiyah dan juga mengundang perdebatan. Ini baru adil.
Adalah aneh, jika Teuku Wisnu dan juga siapa pun yang mengatakan kiriman Fatihah tidak sampai langsung diberi stempel Wahabi, sesat dan menyesatkan, tapi ketika ada pihak lain yang juga di depan publik menyatakan kiriman Fatihah sampai justru disambut dengan “tepuk tangan” dan bebas dari tuduhan khilafiyah. Yang mengatakan kiriman Fatihah tidak sampai disebut sebagai tidak toleran, sebaliknya yang mengatakan kiriman Fatihah sampai disebut TOLLERANS. Di mana logikanya, Bro!
Ini namanya “khilafiyah karet”, jika merugikan kita, maka dengan penuh semangat kita menyebutnya sebagai khilafiyah, tapi jika menguntungkan kita, itu bukan khilafiyah. Tak naik ketawa saya. Wallahul Musta’an.
*Penulis adalah Mahasiswa PPs UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan juga Direktur patahkekeringan.blogspot.com dan khairilmiswar.com.
Sumber : kompasiana.com