178 - Kita sering lupa, bahwa Allah menciptakan kita dengan tujuan beribadah kepada-Nya, sebagaimana yang Dia firmankan dalam Q.S. Adz-Dzariyat:56 yang artinya, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. Dan ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, berupa perkataan dan perbuatan yang bersifat tersembunyi (bathin) maupun yang tampak (zhahir). [1]
Apa saja bentuk ibadah? Banyak sekali. Jika kita membaca Al-Qur’an, kita akan mendapati berbagai amalan yang jika dikerjakan maka pelakunya mendapatkan ridha Allah dan dan cinta-Nya. Bahkan membaca Al-Qur’an juga termasuk ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan ‘Alif Lam Mim’ satu huruf, tetapi ‘Alif’ satu huruf, ‘Lam’ satu huruf, ‘Mim’ satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi).
Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan amalan yang jika dikerjakan maka pelakunya akan mendapatkan dosa, tetapi jika perbuatan ini ditinggalkan atas dasar takut kepada Allah, maka dengan meninggalkan larangan ini pelakunya mendapatkan cinta Allah serta ridha-Nya, dan ini juga terhitung ibadah.
Alangkah indahnya jika setiap muslim menyadari tujuannya diciptakan di muka bumi serta menyadari bahwa pedoman hidupnya di bumi ini adalah Al-Qur’an. Jika demikian, mungkin tidak ada yang namanya muslim tapi tidak melaksanakan sholat, tidak ada pula muslim yang tidak membayar zakat, semua muslim membayar zakat sehingga angka kemiskinan berkurang, sebab banyak sekali ayat yang memerintahkan setiap muslim untuk melaksanakan sholat dan membayar zakat, seperti firman Allah yang artinya, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”(QS. Al-Baqarah: 43).
Dan saat kita menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, itu berarti kita menjadikan sabda Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pedoman hidup pula. Allah berfirman yang artinya, “….Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7).
Terkait perihal sholat, Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan sholat,” (HR. Muslim no. 257). Maka tidak heran jika Imam Ahmad berpendapat bahwa muslim yang meninggalkan sholat secara sengaja dan tetap enggan melaksanakannya padahal telah disuruh (meskipun dia tidak mengingkari bahwa sholat itu hukumnya wajib), maka muslim ini dihukumi dengan hukuman mati disebabkan kekufurannya. [2]
Selain itu, jika pemuda-pemudi muslim menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidupnya, tentu mereka akan meninggalkan pacaran yang jelas mengarah kepada perbuatan zina, karena ia tahu bahwa Penciptanya berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).
Ada yang bilang, “memang tidak semua pacaran berujung ke perzinaan, tapi hampir semua perzinaan diawali dengan pacaran”. Menurut penulis, ini tidak sepenuhnya benar, karena siapapun yang berpacaran maka ia sesungguhnya telah berzina meskipun bukan zina farj (kemaluan), karena pelaku pacaran tentu saling berpandangan, saling menggoda dengan gombalan, saling bersentuhan, saling membayangkan, ada pula yang melangkahkan kaki untuk ngapel malam mingguan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan pada setiap anak cucu Adam bagiannya dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari, maka zinanya mata adalah melihat, sedangkan zinanya lisan adalah ucapan, dan nafsu itu bekeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah sebagai pembenar semuanya atau tidak.” (HR Bukhari no. 5774).
Juga tidak ada yang namanya muslim tapi LGBT jika ia berpedoman hidup kepada Al-Qur’an, sebab di dalam Al-Qur’an disebutkan azab untuk kaum Sodom Nabi Luth yang penduduknya homoseksual. Atas dosa ini, Allah menghukum kaum tersebut dengan menjungkir-balikkan bumi mereka lalu mereka dihujani batu-batu dari tanah yang terbakar secara bertubi-tubi. Allah berfirman, “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi”. (QS. Hud: 82). Tentu seorang muslim yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya akan mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut.
Dan jika setiap muslimah menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, tidak ada lagi yang namanya muslimah tapi tidak berhijab syar’i dan mengenakan kerudung tipis yang dililitkan di leher atau disampirkan ujung-ujungnya ke atas pundak kiri-kanan, karena Allah berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…..” (QS. An-Nur: 31).
Juga tidak ada lagi muslimah yang memakai pakaian minim atau tertutup tapi menampakkan lekuk tubuh, entah itu baju ketat atau celana atau gamis yang bahannya menempel di tubuh atau transparan, tidak ada pula wanita yang kalau berjalan berlenggak lenggok, tidak ada pula wanita yang meski telah berhijab tetapi rambutnya disanggul dan ditinggikan karena tak ingin menjadi sebagaimana yang Rasulullah sabdakan berikut ini:
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: 1. Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia, dan 2. Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR Muslim no. 2128).
Juga tak akan lagi ada mata-mata yang memandang aneh atau ngeri pada wanita bercadar karena Allah berfirman yang artinya, “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-ahzab: 59).
Sejatinya kata “jilbab” di ayat ini mencakup makna cadar. Silakan lihat catatan kaki ayat ini di Al-Qur’an terjemahan manapun, asal telah disahkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia, maka kita akan menemukan, “Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.”
Bayangkanlah jika setiap muslim menjaga pandangan dari apa-apa yang Allah haramkan dan menundukkan pandangan dari lawan jenis yang bukan mahram (QS. An-Nur: 30-31), lalu yang muslimah menutup aurat dengan berhijab syar’i (QS. An-Nur: 31 dan Al-Ahzab: 59), tidak keluar rumah kecuali untuk urusan syar’i (QS. Al-Ahzab: 33), tidak mendayu-dayukan suara di depan lelaki (QS. Al-Ahzab: 32), dan tidak bepergian jauh kecuali ditemani mahramnya [3], tentu dengan izin Allah akan minim sekali yang namanya kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan yang sayangnya menjamur di negeri kita yang penduduknya mayoritas berkitab suci Al-Qur’an.
Ini baru sebagian kecil keajaiban yang akan terjadi jika setiap muslim menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup, masih banyak lagi keajaiban yang akan terjadi jika setiap muslim sadar akan tujuannya diciptakan dan menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya.
Oleh karena itulah, mari kita mambaca Al-Qur’an dan berusaha memahami maknanya, sehingga kita bisa menjadikannya sebagai petunjuk hidup. Letakkanlah Al-Qur’an di tempat yang tidak sulit kita jangkau, karena jika tersimpan rapat di lemari biasanya tidak akan tersentuh. Al-Qur’an is for yourself, not for your shelf.
Jika belum bisa Bahasa Arab, mari kita baca terjemahannya, dan lebih baik lagi jika kita membaca tafsirnya, karena terkadang satu kata dalam Bahasa Arab butuh berkata-kata untuk bisa dipahami dalam Bahasa Indonesia. Rasulullah berjanji, “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm). []
———————–
[1] Kitab At-Taudhiihu ‘An Tauhiidil Khallaaqi Fii Jawaabi Ahlil ‘Iraaqi Wa Tadzkirati Ulil Albaabi Fii Thariiqatisy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhaab, juz 1 hal. 191 (Al-Maktabah Asy-Syaamilah)
[2] Kitab Bidaayatul Mujtahidi Wa Nihaayatul Muqtashid, juz 1 hal. 97 (Al-Maktabah Asy-Syaamilah)
[3] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Janganlah wanita safar (bepergian jauh) kecuali bersama mahramnya, dan janganlah seorang laki-laki menemuinya melainkan wanita itu disertai mahramnya. Maka seseorang berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya aku ingin pergi mengikuti perang anu dan anu, sedangkan istriku ingin menunaikan ibadah haji.” Beliau bersabda: “Keluarlah (pergilah berhaji) bersamanya (istrimu)”. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
sumber : islampos.com