178 - Jika luput dari shalat ‘ied, apa yang mesti dilakukan? Bagaimana cara menggantinya atau memang tidak perlu diganti? Para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– telah memberikan jalan keluar untuk permasalahan ini. Cukup shalat ‘ied yang luput tadi diqodho’ dengan shalat empat raka’at.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata,
“Siapa saja yang luput dari shalat ‘ied, maka tidak ada qodho’ baginya. Karena hukum shalat ‘ied adalah fardhu kifayah. Jika sudah mencapai kadar kifayah, maka sudah dikatakan cukup. Jika ia mau mengqodho’ shalat tersebut, maka tergantung pilihannya. Jika ia ingin mengqodho’nya, maka diganti menjadi 4 raka’at. Empat raka’at tersebut boleh dilakukan dengan sekali salam atau dua kali salam.
Perihal di atas diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan menjadi pendapat Ats Tsauri. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,
مَنْ فَاتَهُ الْعِيدُ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا ، وَمَنْ فَاتَتْهُ الْجُمُعَةُ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
“Barangsiapa yang luput shalat ‘ied, maka hendaklah ia menggantinya dengan shalat empat raka’at. Barangsiapa yang luput shalat Jum’at, maka hendaklah ia menggantinya dengan shalat empat raka’at.”
Diriwayatkan pula dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa jika dia memerintahkan orang yang tidak mampu melaksanakan shalat ‘ied, maka ia memerintahkan untuk mengganti dengan empat raka’at. Keduanya diriwayatkan pula oleh Sa’id.
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
“Hal ini dikuatkan dengan hadits ‘Ali yang menyatakan bahwa jika ada seseorang yang diperintahkan untuk shalat di tengah-tengah yang tidak mampu melaksanakan shalat ‘ied, maka hendaklah mereka mengganti menjadi empat raka’at.” Setelah shalat qodho’ tersebut tidak ada khutbah ‘ied karena yang diqodho’ hanyalah shalat ‘ied. Shalat qodho’ tersebut dikerjakan menjadi empat raka’at sebagaimana dalam shalat Jum’at.
Dalam shalat qodho’ ini boleh saja dilakukan dengan dua raka’at sebagaimana shalat sunnah lainnya. Demikian pendapat Al Auza’i karena ia menganggap shalat ‘ied hanyalah shalat sunnah. Jika ingin, boleh juga shalat qodho’nya dilakukan dengan cara seperti shalat ‘ied dengan takbir zawaid. Pendapat ini juga dinukil dari Ahmad Isma’il bin Sa’id, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir. Sebagaimana diriwayatkan dari Anas, bahwa ia tidak menghadiri shalat ‘ied bersama imam di Bashroh. Lalu beliau mengumpulkan keluarga dan bekas budaknya. Kemudian ‘Abdullah bin ‘Utbah bekas budaknya berdiri untuk shalat, lalu ia shalat dengan dua raka’at. Di dalamnya tetap ada takbir zawaid (tambahan). Karena shalat tersebut adalah shalat qodho’ sehingga mesti sama dengan tata cara shalat aslinya dan sama seperti shalat-shalat lainnya pula.
Shalat qodho’ ketika itu adalah pilihan. Boleh saja seseorang shalat qodho’ tersebut sendirian, boleh juga secara berjama’ah.
Abu ‘Abdillah Imam Ahmad pernah ditanya,
“Di manakah shalat qodho’ tersebut dilaksanakan?” Beliau pun menjawab, “Jika ia ingin, boleh saja ia pergi ke lapangan. Begitu pula boleh di tempat lainnya yang ia suka.” (Al Mughni, 3: 284-285).[]
sumber : islampos.com