178 - “Suamiku itu punya kelebihan lho, Mbak. Ia punya lengan yang kuat dan tubuh yang gagah. Namun Ia memiliki banyak kekurangan. Apa yang harus saya lakukan ya, Mba?” tanyanya.
“Kalau boleh saya tahu, apakah kiranya kekurangan suami, Mbak?” saya balas bertanya.
“Ia buta, tuli, bisu dan kadang kadang suka mengalami kelumpuhan,” tukasnya.
“Ia buta padahal matanya baik-baik saja, Ia buta karena Ia tak bisa melihat kesusahan saya dan anak-anak setiap hari. Ia hanya mementingkan diri sendiri, tak menoleh sedikitpun apakah istri dan anaknya sudah makan, berpakaian, tidur nyaman, Ia tak mampu melihat itu,” seraya menahan emosi Ia terus bicara.
“Ia juga tuli karena ia tak pernah mendengar tangisan istri dan anak anaknya ketika kami sakit, lapar atau kedinginan. Ia sibuk mendengar bisikan teman dan syaiton di sekitarnya, Ia pun tuli karena tak pernah mendengar suara adzan memanggilnya,” mulai isakan terdengar dari bibirnya.
“Ia pun bisu ketika saya istrinya mengajaknya bicara dari hati ke hati. Ia bisu karena tak mampu bicara yang baik dan benar kepada kami, keluarganya, Ia pun kadang kadang suka lumpuh karena untuk berjudi, bermain main dengan teman kaki dan tangannya bisa kuat, namun untuk mencari nafkah ia mendadak lumpuh, apalagi untuk menunaikan solat kaki dan tangannya tak mampu bergerak sedikitpun.” tangisnya pun pecah kala itu.
Saya diam seribu bahasa, ingin rasanya bertanya padanya: “Apakah sebelum Mbak memutuskan menikahinya Mbak sudah mengetahui lelaki seperti apa yang Mbak pilih menjadi suami?” Jika jawabannya iya, maka saya hanya bisa berkata, “Seharusnya Mba sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari akan hidup dengan manusia yang seperti ini.” Kepada Sang Pencipta, Ia sudah berani ingkar janji, apalagi kepada istri dan anak-anak yang tak punya kuasa apa pun juga. Namun saya tak kuasa bertanya maupun berkata kata lagi, hanya diam dan mendengar isak tangisnya yang menyayat hati. []
Oleh: Widianingsih Idey Widia, Pengasuh Rubrik “Me and the Children” Islampos
sumber : islampos.com