178 - Persoalan Ayah dan Ibu Nabi Muhammad Masuk Neraka? Pasti banyak dari kita, khususnya orang Islam yang cinta terhadap Rasulnya tak yakin, Walau ada riwayat yang menyampaikan begitu. Beberapa pekan belakangan ini, banyak orang berdiskusi berkaitan topik ini di Fb, dengan menyertakan dalil-dalil serta keilmuan yang ada.
Tidak jarang pula ada orang yang sekedar mau saling caci maki, lantaran perbedaan pandangan serta pendapat...
Ada seorang ustad yang membahas masalah Ayah dan Ibu Nabi Muhammad Masuk Neraka ini dan menuai tidak sedikit hujatan. Beliau adalah Ustad Firanda, di mana dirinya mengatakan suatu hadis sahih, berkaitan tentang satu orang yang menanyakan terhadap Rasulullah, “dimana bapakku?”, dan Rasulullah menjawab, “di neraka”. Orang itupun lantas berangkat dengan wajah yang murung, kemudian Rasulullah memanggilnya seraya bicara, “Sesungguhnya bapakku serta bapakmu di neraka” (ان ابى واباك فى النار), hadis lengkapnya ada pada Sahih Muslim.
Berkenaan dengan masalah ini, kita juga dapat mendengar orang berkata perihal bapaknya Nabi Ibrahim, yang terdapat juga perbedaan opini menyangkut nama aslinya, apakah Azar atau Taruh.
Akan tetapi sebagian besar perbedaan opini antar ulama berkaitan dua nama ini masihlah merujuk pada seseorang, maka nama Bapak Nabi Ibrahim yakni Azar atau Taruh, namanya ada dua, seperti halnya dalam keseharian kita, ada orang yang dipanggil dan dikenal dengan lebih dari satu nama. Adapun dalam Al-Qur’an sendiri, nama Bapak Nabi Ibrahim yakni Azar.
Kisah mengenai bapaknya Nabi Ibrahim jadi penting, lantaran bagi sebahagian orang yang menafsirkan kata اب (Bapak) dalam ayat berkenaan dengan Bapak Nabi Ibrahim ialah kata majasi, sehingga Azar si produsen patung tersebut dikatakan bukan bapaknya Nabi Ibrahim, melainkan pamannya.
Hal ini dikarenakan pada bahasa Arab, kata اب itu tak selamanya berarti “bapak” melainkan juga dapat berarti “paman”. Maka dikatakan juga bahwa yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad sendiri dengan kata “bapakku” yakni “pamanku”.
Jikalau begitu, sehingga permasalahan bahasapun timbullah dalam hadis Nabi itu, dikarenakan apabila kata ابى dimaknai bersama “pamanku”, sehingga artinya dapat jadi “sesungguhnya pamanku & pamanmu berada di neraka”. Pasti dapat diteliti pun berkaitan si penanya tersebut, apakah yg ditanyakannya itu “bapaknya” atau “pamannya”?
Bagaimanapun, Imam Syafi’i dalam kitab besar nya “Al-Um”, menyampaikan bahwa Ibrahim bernasab pada bapaknya, sedangkan bapaknya kafir, demikian pula anaknya Nuh bernasab pada Nuh, biarpun anaknya kafir. Maka jikalau kita merujuk terhadap Imam Syafi’I, kata اب sebagai “paman” jadi lemah, di sudut lain, kata اب benar-benar terhadap dasarnya bermakna “bapak”, atau lebih tegasnya “bapak kandung”.
Sementara itu juga, dalam Al-Qur’an telah sangat terang dinyatakan menyangkut kekafiran bapaknya Ibrahim serta anaknya Nuh, tapi buat orang tua Nabi Muhammad tiada ayat yang menuturkan dengan cara qoth’i, kecuali cuma hadis di atas yang jelas-jelas menyampaikan bahwa “sesungguhnya bapakku serta bapakmu di neraka”. Ulama sudah coba mengatakan ayat-ayat Al-Qur’an yang merupakan dalil bagi usaha tentukan ke-2 orang tua Nabi merupakan calon penghuni surga, atau bersama kata lain yakni beberapa orang yg beriman, beragama tauhid, atau “ahlul-fatrah”, adalah umat manusia yang berada kepada periode kekosongan kenabian (tak ada nabi), walaupun ayat-ayat tersebut lebih bersifat umum, seperti contohnya ayat yang artinya “kami tak dapat menurunkan azab sebelum mengutus satu orang rasul (Al-Isra’ ayat 15)”. Ruang ini sangat sempit untuk mengumpulkan seluruh dalil serta pandangan.
Pasti kita juga tidak ingin memisahkan peranan Abdul Mutthalib sebagai penjaga baitullah, terutama dalam sejarah “pasukan gajah” yang diabadikan dalam surat Al-Fiil. Belum lagi bila kita kembali terhadap nama bapaknya Nabi Muhammad sendiri, adalah Abdullah (hamba Allah) serta ibunya Aminah (aman), walau ada pepatah menyampaikan, “apalah arti suatu nama”.
Kepada ahirnya, hadis “sesungguhnya bapakku serta bapakmu di neraka” di atas oleh para ulama dikategorikan yang merupakan “hadis ahad”, yang dalam masalah aqidah tak dapat dipegang. Meski terus saja ada sebahagian ulama yang berhujjah dengannya, perbedaan itu jadi lumrah juga di kalangan ulama dalam hal-hal tertentu.
Bagaimanapun, masalah ini ialah masalah yang masih ghaib. Masalah ini merupakan rahasia Allah, di mana beberapa perihal yang dipertentangkan di dunia ini bakal dijelaskan di ahirat.
Alif-Lam-Mim sajapun yang jelas ayat Al-Qur’an juga merupakan satu diantara rahasia Allah, juga sebagai ujian bagi ummat Islam, apakah mereka yakin atau tak mengenai adanya perkataan Allah yang tak diketahui hakikatnya (ayat mutasyabihat).
Hadis ahad yang merupakan sahih sekalipun cuma membuahkan “dzan” (dugaan). Sebab itu hadis di atas masih bisa menjadi hujjah, sepanjang tak jadi “keyakinan”. Wallahu a’lam...
Tidak jarang pula ada orang yang sekedar mau saling caci maki, lantaran perbedaan pandangan serta pendapat...
Ada seorang ustad yang membahas masalah Ayah dan Ibu Nabi Muhammad Masuk Neraka ini dan menuai tidak sedikit hujatan. Beliau adalah Ustad Firanda, di mana dirinya mengatakan suatu hadis sahih, berkaitan tentang satu orang yang menanyakan terhadap Rasulullah, “dimana bapakku?”, dan Rasulullah menjawab, “di neraka”. Orang itupun lantas berangkat dengan wajah yang murung, kemudian Rasulullah memanggilnya seraya bicara, “Sesungguhnya bapakku serta bapakmu di neraka” (ان ابى واباك فى النار), hadis lengkapnya ada pada Sahih Muslim.
Berkenaan dengan masalah ini, kita juga dapat mendengar orang berkata perihal bapaknya Nabi Ibrahim, yang terdapat juga perbedaan opini menyangkut nama aslinya, apakah Azar atau Taruh.
Akan tetapi sebagian besar perbedaan opini antar ulama berkaitan dua nama ini masihlah merujuk pada seseorang, maka nama Bapak Nabi Ibrahim yakni Azar atau Taruh, namanya ada dua, seperti halnya dalam keseharian kita, ada orang yang dipanggil dan dikenal dengan lebih dari satu nama. Adapun dalam Al-Qur’an sendiri, nama Bapak Nabi Ibrahim yakni Azar.
Kisah mengenai bapaknya Nabi Ibrahim jadi penting, lantaran bagi sebahagian orang yang menafsirkan kata اب (Bapak) dalam ayat berkenaan dengan Bapak Nabi Ibrahim ialah kata majasi, sehingga Azar si produsen patung tersebut dikatakan bukan bapaknya Nabi Ibrahim, melainkan pamannya.
Hal ini dikarenakan pada bahasa Arab, kata اب itu tak selamanya berarti “bapak” melainkan juga dapat berarti “paman”. Maka dikatakan juga bahwa yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad sendiri dengan kata “bapakku” yakni “pamanku”.
Jikalau begitu, sehingga permasalahan bahasapun timbullah dalam hadis Nabi itu, dikarenakan apabila kata ابى dimaknai bersama “pamanku”, sehingga artinya dapat jadi “sesungguhnya pamanku & pamanmu berada di neraka”. Pasti dapat diteliti pun berkaitan si penanya tersebut, apakah yg ditanyakannya itu “bapaknya” atau “pamannya”?
Bagaimanapun, Imam Syafi’i dalam kitab besar nya “Al-Um”, menyampaikan bahwa Ibrahim bernasab pada bapaknya, sedangkan bapaknya kafir, demikian pula anaknya Nuh bernasab pada Nuh, biarpun anaknya kafir. Maka jikalau kita merujuk terhadap Imam Syafi’I, kata اب sebagai “paman” jadi lemah, di sudut lain, kata اب benar-benar terhadap dasarnya bermakna “bapak”, atau lebih tegasnya “bapak kandung”.
Sementara itu juga, dalam Al-Qur’an telah sangat terang dinyatakan menyangkut kekafiran bapaknya Ibrahim serta anaknya Nuh, tapi buat orang tua Nabi Muhammad tiada ayat yang menuturkan dengan cara qoth’i, kecuali cuma hadis di atas yang jelas-jelas menyampaikan bahwa “sesungguhnya bapakku serta bapakmu di neraka”. Ulama sudah coba mengatakan ayat-ayat Al-Qur’an yang merupakan dalil bagi usaha tentukan ke-2 orang tua Nabi merupakan calon penghuni surga, atau bersama kata lain yakni beberapa orang yg beriman, beragama tauhid, atau “ahlul-fatrah”, adalah umat manusia yang berada kepada periode kekosongan kenabian (tak ada nabi), walaupun ayat-ayat tersebut lebih bersifat umum, seperti contohnya ayat yang artinya “kami tak dapat menurunkan azab sebelum mengutus satu orang rasul (Al-Isra’ ayat 15)”. Ruang ini sangat sempit untuk mengumpulkan seluruh dalil serta pandangan.
Pasti kita juga tidak ingin memisahkan peranan Abdul Mutthalib sebagai penjaga baitullah, terutama dalam sejarah “pasukan gajah” yang diabadikan dalam surat Al-Fiil. Belum lagi bila kita kembali terhadap nama bapaknya Nabi Muhammad sendiri, adalah Abdullah (hamba Allah) serta ibunya Aminah (aman), walau ada pepatah menyampaikan, “apalah arti suatu nama”.
Kepada ahirnya, hadis “sesungguhnya bapakku serta bapakmu di neraka” di atas oleh para ulama dikategorikan yang merupakan “hadis ahad”, yang dalam masalah aqidah tak dapat dipegang. Meski terus saja ada sebahagian ulama yang berhujjah dengannya, perbedaan itu jadi lumrah juga di kalangan ulama dalam hal-hal tertentu.
Bagaimanapun, masalah ini ialah masalah yang masih ghaib. Masalah ini merupakan rahasia Allah, di mana beberapa perihal yang dipertentangkan di dunia ini bakal dijelaskan di ahirat.
Alif-Lam-Mim sajapun yang jelas ayat Al-Qur’an juga merupakan satu diantara rahasia Allah, juga sebagai ujian bagi ummat Islam, apakah mereka yakin atau tak mengenai adanya perkataan Allah yang tak diketahui hakikatnya (ayat mutasyabihat).
Hadis ahad yang merupakan sahih sekalipun cuma membuahkan “dzan” (dugaan). Sebab itu hadis di atas masih bisa menjadi hujjah, sepanjang tak jadi “keyakinan”. Wallahu a’lam...