178 - Rancangan Undang-Undang Kebudayaan memasukkan kretek sebagai warisan budaya Indonesia. Artinya, kretek disamakan dan sederajat dengan Borobudur, sendra tari, angklung, wayang golek, wayang kulit, batik. Karena sejajar itu pula kretek harus dipromosikan agar warisan itu tak menghilang ditelan zaman.
Tentu saja ini kontraproduktif. Pasal tentang kretek itu baru muncul beberapa pekan lalu ketika Rancangan itu akan dibahas di paripurna DPR. Sejak rancangan ini masuk ke parlemen pada 2007, soal kretek tak pernah ada. Pasal itu masuk seiring dengan tak kunjung dibahasnya RUU Pertembakauan, yang pada 2012 juga masuk ke DPR tanpa melalui jalur legislasi yang resmi.
Kontraproduktif karena negara ini sedang berupaya mengendalikan produk tembakau. Kretek tentu salah satunya. Undang-Undang Kesehatan 2009 jelas menyebut bahwa produk tembakau adalah zat adiktif yang harus dikendalikan peredaran dan konsumsinya. Peraturan Pemerintah juga sudah membatasi iklan luar ruang, televisi, cetak, dan audio-visual. Jika kretek dipromosikan atas nama warisan budaya, ia akan bertabrakan dengan banyak beleid lain.
Urusan rokok, tembakau, dan produk turunannya memang tak henti menuai kontroversi. Ada cukai Rp 100 triliun per tahun tapi kerugian akibat merokok Rp 200 triliun—menurut Kementerian Kesehatan. Industri rokok membuka lapangan pekerjaan, dan orang paling kaya datang dari industri ini, tapi rokok juga jadi salah satu pengeluaran terbesar penduduk miskin dibanding biaya pendidikan.
Tanpa perlu membaca stastistik yang rumit, tersebutlah Idris yang melihat bagaimana rokok membuat anak-anak tak sekolah. Dia Kepala Desa Bone-Bone di Enrekang, Sulawesi Selatan. Laki-laki ceking ini memulai sesuatu dari yang kecil tapi mengubah hidup orang di desanya. Ia membuat aturan radikal melarang rokok pada 2000. Saya bertemu dia pada suatu hari yang berhujan di rumahnya, di lereng Gunung Latimojong, yang dingin pada 2012.
Bagi saya, Idris adalah contoh bagaimana pemimpin yang bekerja sesuai porsi dan semestinya dengan cara yang efektif. Sebermula ia melihat anak-anak di desanya kian banyak di sawah dan kebun, menggembala sapi atau membantu ayah-ibu mereka mencangkul.
Anak-anak itu tak bersekolah dengan alasan tak punya biaya. Itu dalih orang tua mereka dengan mulut mengepulkan asap rokok. Idris, waktu itu baru lulus kuliah dari Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Alauddin Makassar, tak habis pikir dengan cara pandang tetangganya: bagaimana bisa mereka mampu membeli rokok tapi ogah mengeluarkan uang untuk pendidikan anak-anak mereka.
Ia sendiri delapan bersaudara. Ayah-ibunya petani tapi lima anaknya bersekolah hingga perguruan tinggi. Setelah bolak-balik gagal tes pegawai negeri sipil, dan bekerja di beberapa perusahaan di luar Sulawesi, Idris pulang kampung. Ia sampai pada kesimpulan: rokok telah memiskinkan orang Bone-Bone sehingga anak-anak tak terjamin pendidikannya.
Idris bukan sarjana yang rumit dengan teori. Ia tak berpikir bahwa sekolah bisa mengubah hidup seseorang karena ijazah bisa mendatangkan kekayaan. Bagi dia, pendidikan itu penting sebagai bekal hidup, pembentuk jalan berpikir, menjadi kaya atau miskin. “Jika kita jadi kaya akibat sekolah, itu bonus saja,” katanya. Sebuah pernyataan yang tak saya duga.
Dan Idris kemudian terpilih jadi Kepala Desa, karena Bone-Bone memekarkan diri sewaktu ia menjabat kepala dusun, bergaji Rp 1 juta. Sehari-hari ia berkebun jagung dan kopi, juga beternak sapi. Dan yang dia lakukan pertama kali adalah membuat aturan larangan merokok di Bone-Bone. Tamu atau warga lokal mesti keluar kampung jika ingin merokok. Sanksinya kerja sosial membersihkan got dan meminta maaf saat salat Jumat.
Tentu saja aturan itu segera ditentang. Idris mendatangi penduduk yang ngedumel. Ia ajak mereka debat. Umumnya, penduduk beralasan tak bisa bekerja jika tak sambil merokok. Apalagi udara Bone-Bone dingin. Idris mematahkan alasan itu bahwa ia pun bisa bekerja tanpa merokok. Berikutnya ia mendatangi penjual rokok yang protes karena penghasilannya berkurang.
Di sana Idris mengajak berhitung. Untung satu bungkus rokok adalah Rp 1.000-2.000. Untung ini hangus karena para pedagang menghabiskan dua bungkus rokok sehari. Jadi, sebetulnya mereka rugi menjual rokok. Kerugian itu bahkan tak sepadan dengan perjuangan mendatangkan rokok yang dibeli dari pasar. Jarak pasar ke Bone-Bone 20 kilometer, melewati jalan tanah yang berkubang jika hujan.
Fakta itu telah membuka pikiran para pedagang bahwa mereka justru menggerogoti modal warung dengan menjual rokok. Walhasil mereka setuju tak lagi menjual rokok sejak debat dengan Idris itu. Sejak pasokan rokok dihentikan, Bone-Bone pun bebas dari rokok.
Sejak aturan itu dibuat hanya sekali penduduk yang melanggar. Itu pun ia merokok di rumahnya ketika ada tamu. Tetangganya melapor kepada Idris dan ia mendapat sanksi sosial: memintaa maaf lewat speaker masjid lalu membersihkan selokan. Sejak itu penduduk ini kapok dan tak merokok lagi.
Sanksi kedua justru untuk para pejabat dari Kabupaten Enrekang. Syahdan, mereka diutus Bupati La Tinro La Tunrung untuk memberi penyuluhan bagaimana menjadikan Bone-Bone jadi desa teladan. Pemerintah pusat akan datang menilai pada desa-desa yang diusulkan. Bubar penyuluhan Idris mendapat laporan dari anak-anak yang menemukan puntung rokok di rumah terakhir sebelum perbatasan.
Idris mengadukannya kepada Bupati La Tinro, 100 kilometer jauhnya, lewat telepon seluler. Bupati dari Golkar ini sangat mendukung Idris. Ia berhenti merokok dua bungkus Marlboro putih sehari setelah berkunjung ke Bone-Bone. Mendengar aduan Idris, La Tinro memanggil semua kepala dinas yang baru pulang dari sana. Mereka mengaku telah merokok karena perjalanan tercegat hujan. “Saya suruh mereka kembali untuk minta maaf dan bayar denda,” katanya.
Di depan seluruh penduduk, para pejabat itu meminta maaf telah melanggar aturan desa. Mereka juga bersedia membayar denda. Dalam aturan, dendanya hanya Rp 100 ribu. Para pejabat itu membayar Rp 1,5 juta bahkan ada yang menanggung biaya pembuatan 30 meter jalan beton.
Dengan ketegasan dan dukungan penuh Bupati itu, pada 2012 Bone-Bone dinobatkan sebagai Desa Teladan Tingkat Nasional. Idris kian sering bepergian karena diundang ceramah ke banyak tempat untuk bercerita bagaimana ia memimpin desa dengan efektif dan berhasil.
Terutama karena anak-anak kembali ke sekolah setelah tak ada rokok di desanya. Sewaktu saya ke sana, tak ada satu pun anak yang tak sekolah. Di kebun hanya ada orang-orang tua dan anak-anak muda lulusan SMP atau SMA. Bone-Bone yang dingin kian sejuk karena hanya asap dapur yang tercium, warna senja yang sepia, juga aroma kopi Toraja….
Tentu saja ini kontraproduktif. Pasal tentang kretek itu baru muncul beberapa pekan lalu ketika Rancangan itu akan dibahas di paripurna DPR. Sejak rancangan ini masuk ke parlemen pada 2007, soal kretek tak pernah ada. Pasal itu masuk seiring dengan tak kunjung dibahasnya RUU Pertembakauan, yang pada 2012 juga masuk ke DPR tanpa melalui jalur legislasi yang resmi.
Kontraproduktif karena negara ini sedang berupaya mengendalikan produk tembakau. Kretek tentu salah satunya. Undang-Undang Kesehatan 2009 jelas menyebut bahwa produk tembakau adalah zat adiktif yang harus dikendalikan peredaran dan konsumsinya. Peraturan Pemerintah juga sudah membatasi iklan luar ruang, televisi, cetak, dan audio-visual. Jika kretek dipromosikan atas nama warisan budaya, ia akan bertabrakan dengan banyak beleid lain.
Urusan rokok, tembakau, dan produk turunannya memang tak henti menuai kontroversi. Ada cukai Rp 100 triliun per tahun tapi kerugian akibat merokok Rp 200 triliun—menurut Kementerian Kesehatan. Industri rokok membuka lapangan pekerjaan, dan orang paling kaya datang dari industri ini, tapi rokok juga jadi salah satu pengeluaran terbesar penduduk miskin dibanding biaya pendidikan.
Tanpa perlu membaca stastistik yang rumit, tersebutlah Idris yang melihat bagaimana rokok membuat anak-anak tak sekolah. Dia Kepala Desa Bone-Bone di Enrekang, Sulawesi Selatan. Laki-laki ceking ini memulai sesuatu dari yang kecil tapi mengubah hidup orang di desanya. Ia membuat aturan radikal melarang rokok pada 2000. Saya bertemu dia pada suatu hari yang berhujan di rumahnya, di lereng Gunung Latimojong, yang dingin pada 2012.
Bagi saya, Idris adalah contoh bagaimana pemimpin yang bekerja sesuai porsi dan semestinya dengan cara yang efektif. Sebermula ia melihat anak-anak di desanya kian banyak di sawah dan kebun, menggembala sapi atau membantu ayah-ibu mereka mencangkul.
Anak-anak itu tak bersekolah dengan alasan tak punya biaya. Itu dalih orang tua mereka dengan mulut mengepulkan asap rokok. Idris, waktu itu baru lulus kuliah dari Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Alauddin Makassar, tak habis pikir dengan cara pandang tetangganya: bagaimana bisa mereka mampu membeli rokok tapi ogah mengeluarkan uang untuk pendidikan anak-anak mereka.
Ia sendiri delapan bersaudara. Ayah-ibunya petani tapi lima anaknya bersekolah hingga perguruan tinggi. Setelah bolak-balik gagal tes pegawai negeri sipil, dan bekerja di beberapa perusahaan di luar Sulawesi, Idris pulang kampung. Ia sampai pada kesimpulan: rokok telah memiskinkan orang Bone-Bone sehingga anak-anak tak terjamin pendidikannya.
Idris bukan sarjana yang rumit dengan teori. Ia tak berpikir bahwa sekolah bisa mengubah hidup seseorang karena ijazah bisa mendatangkan kekayaan. Bagi dia, pendidikan itu penting sebagai bekal hidup, pembentuk jalan berpikir, menjadi kaya atau miskin. “Jika kita jadi kaya akibat sekolah, itu bonus saja,” katanya. Sebuah pernyataan yang tak saya duga.
Dan Idris kemudian terpilih jadi Kepala Desa, karena Bone-Bone memekarkan diri sewaktu ia menjabat kepala dusun, bergaji Rp 1 juta. Sehari-hari ia berkebun jagung dan kopi, juga beternak sapi. Dan yang dia lakukan pertama kali adalah membuat aturan larangan merokok di Bone-Bone. Tamu atau warga lokal mesti keluar kampung jika ingin merokok. Sanksinya kerja sosial membersihkan got dan meminta maaf saat salat Jumat.
Tentu saja aturan itu segera ditentang. Idris mendatangi penduduk yang ngedumel. Ia ajak mereka debat. Umumnya, penduduk beralasan tak bisa bekerja jika tak sambil merokok. Apalagi udara Bone-Bone dingin. Idris mematahkan alasan itu bahwa ia pun bisa bekerja tanpa merokok. Berikutnya ia mendatangi penjual rokok yang protes karena penghasilannya berkurang.
Di sana Idris mengajak berhitung. Untung satu bungkus rokok adalah Rp 1.000-2.000. Untung ini hangus karena para pedagang menghabiskan dua bungkus rokok sehari. Jadi, sebetulnya mereka rugi menjual rokok. Kerugian itu bahkan tak sepadan dengan perjuangan mendatangkan rokok yang dibeli dari pasar. Jarak pasar ke Bone-Bone 20 kilometer, melewati jalan tanah yang berkubang jika hujan.
Fakta itu telah membuka pikiran para pedagang bahwa mereka justru menggerogoti modal warung dengan menjual rokok. Walhasil mereka setuju tak lagi menjual rokok sejak debat dengan Idris itu. Sejak pasokan rokok dihentikan, Bone-Bone pun bebas dari rokok.
Sejak aturan itu dibuat hanya sekali penduduk yang melanggar. Itu pun ia merokok di rumahnya ketika ada tamu. Tetangganya melapor kepada Idris dan ia mendapat sanksi sosial: memintaa maaf lewat speaker masjid lalu membersihkan selokan. Sejak itu penduduk ini kapok dan tak merokok lagi.
Sanksi kedua justru untuk para pejabat dari Kabupaten Enrekang. Syahdan, mereka diutus Bupati La Tinro La Tunrung untuk memberi penyuluhan bagaimana menjadikan Bone-Bone jadi desa teladan. Pemerintah pusat akan datang menilai pada desa-desa yang diusulkan. Bubar penyuluhan Idris mendapat laporan dari anak-anak yang menemukan puntung rokok di rumah terakhir sebelum perbatasan.
Idris mengadukannya kepada Bupati La Tinro, 100 kilometer jauhnya, lewat telepon seluler. Bupati dari Golkar ini sangat mendukung Idris. Ia berhenti merokok dua bungkus Marlboro putih sehari setelah berkunjung ke Bone-Bone. Mendengar aduan Idris, La Tinro memanggil semua kepala dinas yang baru pulang dari sana. Mereka mengaku telah merokok karena perjalanan tercegat hujan. “Saya suruh mereka kembali untuk minta maaf dan bayar denda,” katanya.
Di depan seluruh penduduk, para pejabat itu meminta maaf telah melanggar aturan desa. Mereka juga bersedia membayar denda. Dalam aturan, dendanya hanya Rp 100 ribu. Para pejabat itu membayar Rp 1,5 juta bahkan ada yang menanggung biaya pembuatan 30 meter jalan beton.
Dengan ketegasan dan dukungan penuh Bupati itu, pada 2012 Bone-Bone dinobatkan sebagai Desa Teladan Tingkat Nasional. Idris kian sering bepergian karena diundang ceramah ke banyak tempat untuk bercerita bagaimana ia memimpin desa dengan efektif dan berhasil.
Terutama karena anak-anak kembali ke sekolah setelah tak ada rokok di desanya. Sewaktu saya ke sana, tak ada satu pun anak yang tak sekolah. Di kebun hanya ada orang-orang tua dan anak-anak muda lulusan SMP atau SMA. Bone-Bone yang dingin kian sejuk karena hanya asap dapur yang tercium, warna senja yang sepia, juga aroma kopi Toraja….
Semoga dapat menginspirasi....
Sumber : indonesiana.tempo.co